Langsung ke konten

Perspektif realistis yang dibutuhkan dalam dunia AI

Perkembangan kecerdasan komputer bergantung pada manusia yang mengajarinya.

Robert Ito

Dalam tiga tahun terakhir selama musim panas, sekitar dua puluh empat calon ilmuwan komputer datang ke Universitas Stanford untuk mempelajari kecerdasan buatan dari para ahli di bidang ini. Para peserta yang disaring dari ratusan orang ini mengikuti tur ke perusahaan teknologi yang ada di sekitar kampus, berinteraksi dengan robot sosial dan hexacopter, serta mempelajari ilmu linguistik komputasi (apa yang dilakukan mesin saat terdapat kata yang bermakna ganda) dan pentingnya manajemen waktu (sangat penting). Mereka juga bermain Frisbee. Namun, jika Anda beranggapan bahwa AI adalah sekumpulan orang yang menciptakan musuh yang lebih cerdik untuk video game favorit mereka, Anda keliru. Semua siswa dari program Stanford Artificial Intelligence Laboratory’s Outreach Summer (SAILORS) ini adalah anak-anak perempuan yang baru saja lulus SMP, dan studi mereka berfokus untuk menemukan cara dalam meningkatkan kualitas hidup, bukan meningkatkan kualitas game: Bagaimana kita dapat memanfaatkan AI untuk mencegah tabrakan antar-pesawat Boeing 747? Bagaimana kita dapat menggunakannya untuk memastikan dokter telah mencuci tangannya sebelum memasuki ruang operasi? “Tujuan kami adalah meninjau kembali edukasi seputar AI dengan cara yang dapat mendorong keberagaman dan siswa dari berbagai bidang ilmu,” ungkap Fei-Fei Li, direktur lab AI Stanford sekaligus pendiri program SAILORS. “Saat kita memiliki pakar-pakar teknologi dengan latar belakang yang beragam, mereka pun menjadi pakar yang sangat peduli akan penggunaan teknologi untuk kebaikan umat manusia.”

“Dengan banyaknya calon pakar teknologi dari latar belakang berbeda, mereka sama-sama ingin teknologi digunakan untuk kebaikan umat manusia.”

Fei-Fei Li Google & Stanford

Fei-Fei Li

SAILORS didirikan pada tahun 2015 oleh Li dan mantan mahasiswa Olga Russakovsky (sekarang asisten profesor di Universitas Princeton) untuk membantu menghadirkan kesetaraan gender yang lebih besar ke industri teknologi. Alasannya mulia dan mendesak. Menurut survei baru-baru ini, jumlah wanita yang mencari gelar ilmu komputer menurun; di sektor AI, perempuan memegang kurang dari 20 persen posisi eksekutif. Ini adalah bidang yang sangat besar untuk dilewatkan, mengingat setiap hari, semakin banyak orang menggunakan AI untuk membuat hidup mereka lebih mudah dan lebih efisien: AI adalah cara aplikasi foto mengenali wajah Anda di antara wajah orang lain, belum lagi pantai tempat Anda mengambil foto-foto itu. Begitulah cara perangkat Anda memahami saat Anda bertanya perkiraan cuaca untuk esok hari. Selain itu, ada pula berbagai aplikasi yang masih kurang diketahui oleh banyak orang, seperti aplikasi yang dapat mendiagnosis retinopati diabetik (kondisi yang sering menyebabkan kebutaan) atau mengirim drone dalam misi pencarian dan penyelamatan ke wilayah paling terpencil di dunia.

Dengan AI yang semakin tersebar di mana-mana, kebutuhan akan keseimbangan gender di bidang ini menjadi semakin besar. Alasannya tidak lagi sekadar karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan, tetapi juga karena keberagaman adalah bagian penting dari AI mengingat sifat machine learning itu sendiri. Tujuan AI adalah mendorong mesin untuk menyelesaikan tugas yang biasa dilakukan manusia secara alami: mengenali ucapan, membuat keputusan, membedakan antara burrito dan enchilada. Untuk melakukan ini, mesin diberi informasi dalam jumlah besar—sering kali jutaan kata atau percakapan atau gambar—sama seperti cara kita semua menyerap informasi, setiap saat, sejak lahir (intinya, ini adalah machine learning). Semakin banyak mobil yang dilihat mesin, mesin akan semakin mahir dalam mengidentifikasinya. Namun, jika kumpulan data itu terbatas atau bias (jika peneliti tidak menyertakan, katakanlah, gambar mobil merek Trabant), atau jika orang-orang di AI tidak melihat atau memperhitungkan batasan atau bias tersebut (mungkin mereka bukan ahli mobil Jerman Timur yang tidak terkenal), mesin dan hasilnya akan memiliki cacat. Hal ini telah terjadi. Dalam satu kasus, software pengenalan gambar mengidentifikasi foto orang Asia sebagai orang yang berkedip.

“Ini bukan sekadar transparansi data. Namun, kita harus memastikan angkanya bergerak ke arah yang tepat.”

Tracy Chou Project Include

Tracy Chou

Bagaimana cara untuk menciptakan laboratorium dan ruang kerja yang inklusif? Sejumlah proyek dan individu sedang mengupayakan hal tersebut. Tahun ini, Li, yang juga merupakan kepala ilmuwan AI dan machine learning di Google Cloud, beserta beberapa orang lainnya membantu peluncuran AI4ALL. Lembaga nonprofit nasional ini bertujuan menghadirkan keberagaman yang lebih luas ke program AI dan telah melibatkan berbagai pakar di bidang genomika, robotika, serta kelestarian lingkungan sebagai mentor. Upaya ini dilakukan dengan mengacu pada proyek SAILORS. Namun, juga menargetkan orang kulit berwarna dan siswa dengan pendapatan rendah di seluruh negeri melalui kerja sama yang tidak hanya dijalin dengan Stanford, tetapi juga dengan Princeton, UC Berkeley, dan Carnegie Mellon. “Banyak rekan kami dan para pimpinan industri yang mengatakan, ‘SAILORS adalah program yang bagus, tetapi hanya bertumpu pada Stanford yang memfasilitasi beberapa lusin siswa per tahun yang kebanyakan dari Bay Area’,” ungkap Li. “Jadi, AI4ALL berfokus pada keberagaman dan inklusivitas. Bukan hanya mencakup gender saja.”

Inisiatif lain yang serupa antara lain Code Next, upaya Google yang berbasis di Oakland guna mendorong siswa Amerika Latin dan Afrika-Amerika untuk menjelajahi karier di bidang teknologi DIY Girls, sebuah program edukasi dan bimbingan STEAM (sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika) untuk komunitas dengan sumber daya yang kurang di Los Angeles, dan Project Include, yang membantu startup tahap awal dan menengah mempekerjakan perempuan dan orang yang bukan kulit putih. Tracy Chou, sebelumnya bekerja di Pinterest, mendirikan Project Include tahun lalu dengan tujuh perempuan ternama lainnya di industri teknologi. Pada tahun 2013, Chou terkenal karena mendorong perusahaan teknologi agar transparan atas jumlah perempuan yang mereka pekerjakan. Setelah laporan masuk satu demi satu, hal yang sebenarnya sudah diketahui semua orang di Silicon Valley pun terbukti: Dunia teknologi, dari perusahaan terbesar hingga startup terkecil, dipenuhi dengan laki-laki berkulit putih. Project Include, kata Chou, adalah langkah berikutnya yang masuk akal. “Setelah beberapa tahun laporan data ini dikeluarkan dan tidak ada perubahan besar terjadi, mulai terjadi perubahan pembicaraan,” katanya. “Kini, intinya bukan hanya transparansi data. Kita harus mendorong angka tersebut agar bergeser ke arah yang benar.”

Arah tersebut termasuk membuat pekerjaan di bidang AI lebih mudah diakses oleh publik. Orang yang bekerja di bidang AI relatif sedikit, dan kita telah melihat robot yang bisa merawat manusia dan asisten pribadi yang dapat memenuhi kebutuhan kita. Manusialah yang mengontrol data dan kriterianya, sedangkan mesin sekadar menjalankan tugas yang diinginkan. Maka, dengan memperbaiki dan memperbanyak input manusia, hasil yang kita dapat akan lebih baik pula.

Untuk AI, sebuah sudut pandang realistis di dunia nyata

Dalam berbagai aspek, penyebarluasan AI sudah mulai berjalan. Mari lihat contoh berikut: di Jepang, anak seorang petani menggunakan AI untuk mengelompokkan mentimun hasil panen keluarganya, menurut berbagai karakteristik. Ini adalah cerita yang berkesan bagi Li, yang datang dari China ke Amerika Serikat saat berusia 16 tahun. Dia tidak banyak tahu soal negara barunya, apalagi tentang New Jersey, yang menjadi tempat tinggalnya. Setelah menjalani berbagai pekerjaan sambilan, mulai dari membersihkan rumah, menemani anjing jalan-jalan, hingga menjadi kasir di restoran China, akhirnya Li berhasil kuliah di Universitas Princeton, lalu menempuh gelar pascasarjana di Institut Teknologi California.

Dalam dunia kerjanya, Li bisa dikucilkan karena tiga hal: statusnya sebagai imigran, perempuan, dan orang kulit berwarna di dunia yang didominasi oleh laki-laki kulit putih. Berbagai hal yang seharusnya menjadi hambatan bagi orang lain justru menjadi motivasi bagi Li. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mempelajari computer vision, sebuah komponen machine learning yang ia sebut sebagai “aplikasi hebat dari AI”. Computer vision menganalisis data visual dan suatu saat nanti mungkin saja dapat membantu menciptakan anggota badan robotik yang lebih responsif, atau menyelesaikan masalah tersulit dalam pembuktian matematika. Namun, untuk semua AI, hal utama dalam teknologi ini adalah mengajarkan mesin untuk membuka informasi dalam jumlah besar dari berbagai tempat dan perspektif. Untuk menjadi penduduk visual dunia seutuhnya, sama seperti Li.

Membina berbagai kelompok inovator untuk membangun dunia tersebut sangatlah penting bagi masalah teknis dan cerita yang setiap harinya dihadapi oleh Diana Williams, ahli strategi konten di ILMxLAB. Ini merupakan pusat imajinasi Lucasfilm sangat rahasia yang menjadi markas developer dalam menciptakan hiburan yang imersif dan interaktif, seperti pertemuan dengan Darth Vader melalui VR, yang terinspirasi oleh dunia Star Wars. Williams terlibat aktif dalam organisasi pro-teknologi, seperti Black Girls Code, dan ia ingat betapa jarangnya sosok perempuan kulit berwarna yang belajar di perguruan tinggi pada tahun 80-an. “Saya selalu menjadi satu-satunya perempuan kulit hitam di kelas matematika, begitu juga di kelas bisnis,” ungkapnya. “Kenyataan ini sungguh melelahkan dan mengkhawatirkan.” Solusi yang ia tawarkan untuk mendorong lebih banyak perempuan agar menggeluti bidang teknologi: “Mulailah sejak dini dan kuatkan rasa percaya diri, agar saat memasuki bidang ini seorang diri, para perempuan ini tidak akan mundur.”

“Mulailah sejak dini dan kuatkan rasa percaya diri, agar saat memasuki bidang ini seorang diri, para perempuan ini tidak akan mundur.”

Diana Williams Lucasfilm

Diana Williams

Maya Gupta, peneliti machine learning di Google, bekerja untuk menyempurnakan AI dari sudut yang berbeda. Di Stanford, ia membantu sebuah perusahaan Norwegia mendeteksi retakan pada pipa gas bawah air. “Anda tidak dapat menjangkaunya dengan mudah, jadi kami harus menggunakan informasi yang tidak lengkap untuk mencoba menebak,” katanya. Mengajari mesin untuk membuat tebakan yang rumit bukanlah hal yang asing bagi Gupta. Jika Anda mendengarkan musik di YouTube berjudul "Truth" dari pemain saksofon tenor Kamasi Washington dan musiknya dengan mudah menyatu dengan "Turiya and Ramakrishna" karya Alice Coltrane yang menawan, seperti karya DJ paling cerdas yang tidak pernah Anda kenal, berterimakasihlah kepada Gupta, yang bersama timnya membantu komputer menyempurnakan rekomendasi mereka. “Ini semua tentang memprediksi, 'kan?” katanya. “Anda mencoba menebak apa yang sedang terjadi dengan data yang terbatas.”

Saat ini ia memimpin tim penelitian dan pengembangan di Google untuk, antara lain, menciptakan akurasi yang lebih baik pada machine learning. "Anggaplah saya ingin akurasi yang sama saat mengidentifikasi aksen Boston dan aksen Texas, tetapi saya memiliki mesin pengenal ucapan yang sedikit lebih baik saat mengidentifikasi aksen Texas," katanya. “Haruskah saya menurunkan kemampuan mesin tersebut untuk akses Texas agar adil bagi para pengguna aksen Boston? Dan bagaimana jika memang lebih sulit untuk mengenali orang yang berbicara dengan aksen Boston?”

Gupta dan timnya juga menyempurnakan sistem yang jauh lebih transparan daripada desainer berbasis karbon mereka. Dengan mesin, diharapkan kita dapat menghilangkan banyak bias atau proses bawah sadar yang mengganggu pemikiran manusia—atau setidaknya lebih mudah mengenalinya ketika muncul. Mesin tidak kehilangan fokus saat mereka lelah, atau mudah tersinggung, maupun lapar. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hakim cenderung tidak memberikan pembebasan bersyarat tepat sebelum makan siang, ketika mereka lebih memikirkan sandwich daripada sidang hukum. “Sulit untuk mengukur apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran manusia,” kata Gupta. “Kami ingin sistem machine learning kami mudah dijelaskan, dan sejujurnya banyak di antaranya sudah lebih mudah dijelaskan daripada manusia.”

“Kami ingin sistem machine learning kami mudah dijelaskan, dan jujur saja, banyak di antaranya yang lebih mudah dijelaskan daripada manusia.”

Maya Gupta Google

Maya Gupta

Seiring meningkatnya fungsi AI, yang juga semakin mudah digunakan, upaya yang kini dilakukan yakni mendistribusikannya ke sebanyak mungkin orang. Christine Robson, yang merupakan peneliti di IBM sebelum pindah ke Google, memiliki antusiasme yang tak tertandingi terhadap software open source seperti TensorFlow, sebuah sistem machine learning yang dapat digunakan untuk mengerjakan berbagai tugas, mulai dari menerjemahkan bahasa, hingga mendeteksi berbagai penyakit dan menciptakan karya seni asli.

Bagi Robson, inklusivitas dalam AI bisa tercapai dengan menyediakan akses ke alat yang dibutuhkan, tak hanya untuk ahli matematika seperti dirinya, tetapi juga khalayak. “Saya tidak sabar melihat tercapainya ketersediaan machine learning di seluruh dunia,” ujarnya. “Kami sering berdiskusi tentang penyediaan akses machine learning bagi semua orang, tapi saya memiliki keyakinan besar akan hal ini. Memudahkan penggunaan alat ini, serta mengajarkan teknik ini pada semua orang agar dapat menerapkannya merupakan hal yang sangat penting.”

Kemampuan komputer cerdas semakin berkembang seiring input yang diberikan orang banyak.

Karya literatur dan film fiksi ilmiah telah sejak lama menunjukkan berbagai contoh keberadaan AI yang berakhir bencana (Kisah Frankenstein karya Mary Shelley akan menginjak usia 200 tahun depan). Kini, banyak pelaku industri, termasuk Li, Robson, dan Chou, tidak terlalu khawatir tentang berbagai dampak buruk yang mungkin ditimbulkan AI terhadap kita, tetapi mereka lebih khawatir tentang tindakan kita terhadap AI. Contohnya: Programmer menggunakan suara perempuan untuk asisten virtual karena baik laki-laki maupun perempuan akan lebih menyukainya. “Namun, hal ini akan secara berkelanjutan mendukung konsep bahwa semua asisten adalah perempuan, sehingga interaksi kita dengan sistem ini akan mendorong terciptanya bias sosial tersebut,” ungkap Chou. Banyak pakar di bidang ini khawatir tentang hal yang akan terjadi pada sistem AI di kehidupan nyata, dan tentunya dampak yang akan ditimbulkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya keberagaman latar belakang yang lebih luas untuk AI. Hal ini tentunya tidak akan mudah. Namun, para pendukungnya di bidang ini memiliki kecerdasan, wawasan luas, dan komitmen untuk mencapai tujuannya.

“Membuat solusi AI ini mudah digunakan, serta memastikan teknik ini dapat diterapkan oleh semua orang, merupakan hal yang sangat penting.”

Christine Robson Google

Christine Robson

Kami harus memastikan bahwa semua orang merasa diterima, kata Gupta. Ia ingat dinding foto pensiunan profesor teknik elektro di almamaternya, Rice, yang ‘’tidak terlihat seperti diri saya.” Kami perlu meyakinkan para perempuan muda bahwa AI bukanlah keajaiban sulap atau sihir, tambah Robson. “AI adalah matematika."

Di SAILORS, para mahasiswi belajar cara menggunakan natural language processing untuk menelusuri media sosial dan membantu dalam penanggulangan bencana. “Natural language processing membantu para penyelamat mencari orang yang memerlukan bantuan secara real time, menggunakan pesan Twitter mereka,” kata Li. Kelas dan proyek ini tetap berdampak bahkan setelah musim panas yang tak terlupakan tersebut. Beberapa mahasiswi pernah membuat klub robotika sendiri di sekolah, memublikasikan artikel di jurnal ilmiah, dan mengadakan lokakarya di sekolah menengah untuk menyebarkan pengetahuan tentang AI kepada gadis-gadis yang bahkan lebih muda. Untuk para mahasiswi ini, yang latar belakang dan pengalamannya beragam seperti banyaknya proyek yang mereka tangani di kamp, AI bukanlah gadget keren terbaru, tetapi kekuatan efektif yang dapat digunakan untuk kebaikan. Menjelang pertemuan SAILORS pertama di tahun 2015, program ini membagikan pesan dari peserta yang datang, termasuk harapan ambisius ini: "Saya berharap untuk memulai perjalanan AI saya sekarang sehingga saya dapat memberikan pengaruh pada dunia di masa depan".

Pelajari inisiatif AI Google lebih lanjut

Cerita Terkait

Inilah tim yang menggunakan machine learning untuk membantu menyelamatkan populasi lebah di dunia

Inilah tim yang menggunakan machine learning untuk membantu menyelamatkan populasi lebah di dunia

Inilah tim yang menggunakan machine learning untuk membantu menyelamatkan populasi lebah di dunia

Inilah tim yang menggunakan machine learning untuk membantu menyelamatkan populasi lebah di dunia

Inilah tim yang menggunakan machine learning untuk membantu menyelamatkan populasi lebah di dunia

Inilah tim yang menggunakan machine learning untuk membantu menyelamatkan populasi lebah di dunia

Kembali ke atas